Suatu petang,
sambil menghirup kopi dan menyesap kretek, saya dan beberapa teman berbincang
di tangga darurat gedung kantor. Tangga darurat memang menjadi tempat yang
strategis untuk kongkow di sela-sela kerja setelah kami tidak lagi memiliki
ruang khusus merokok.
Salah seorang
teman uring-uringan. Pasalnya uang insentif yang dijanjikan kantor tidak
kunjung dibayarkan. Padahal, masih segar dalam ingatan saya, insentif yang
dijanjikan oleh perusahaan tempat kami bekerja itu akan diberikan jika seserorang
telah mencapai target penjualan.
“Saya langsung
protes. Ini nggak bener! Ini
penipuan?” kata teman saya seraya menggebrak tembok.
“Sabar, Gus! Apa
sampeyan sudah mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan?” tanya saya. Saya
memanggil kawan ini Gus Dur karena wajahnya mirip Abudrrahman Wahid, Kiayi yang pernah menjadi presiden itu.
“Sudah! Pasti
sudah. Target saya tercapai setiap bulannya kok!”
“Terus, kamu protes sama siapa?’
“Bos!”
“Bos?”
“Ya.”
“Apa responnya?”
“Si Bos bilang,
dia tidak punya catatannya!”
“Lho, kok
bisanya begitu?”
“Ya, bisa.”
“Terus?”
“Ya, dia minta saya mengecek sendiri ke bagian
keuangan.”
“Lalu, sampeyan
ngecek?”
“Iya. Tapi
jawaban dari bagian keuangan bikin saya mual. Katanya itu butuh waktu lama.
Lagi pula, karyawan tidak punya hak untuk mengetahui kondisi keuangan. Jika
memaksa, harus ada persetujuan tertulis dari atasan yang bersangkutan!”
“Lalu?”
“Saya balik ke
Si Bos. Tetapi Si Bos bilang, itu bukan wewenangnya. Saya diminta untuk
menanyakan langsung ke bagian sumber daya manusia. Namun setelah saya satroni,
bagian sumber daya manusia bilang, soal
insentif bukan soal mereka, tetapi unit tempat saya berada.”
“Ruwet!”
“Memang ruwet! Ini
akal-akalan perusahaan. Semua dipersulit!”
Pendek kata,
teman saya si Gus Dur palsu ini memang dipersulit untuk memperoleh insentif
yang pernah dijanjikan perusahaaan. Prosedurnya tidak jelas, tidak transparan,
dan tidak ada solusi.
Saya jadi
teringat ocehan calon pejabat dan calon pemimpin kita. Pada masa kampanye
mereka bisa bicara apa saja untuk menarik perhatian calon pemilih. Ada yang
kepincut dengan janji-janji itu, ada yang pesimis, skeptis, dan ada juga yang menetapkan hati untuk menganggap
itu hanya akal-akalan. Apalagi kalau bukan akal-akalan namanya, jika janji
tidak pernah ditepati, jika iming-iming tidak pernah dipenuhi. Apa bedanya
dengan igauan?
Kita kembali
kepada si Gus Dur. Saya tahu benar, penggemar nasi uduk itu adalah pekerja
keras, selalu serius mengerjakan tugas-tugas, dan tidak pernah main-main dengan
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Tetapi kenapa perusahaan tempat saya
bekerja bemain-main dengan hak yang harus diterimanya?
Saya berpikir
lagi, jangan-jangan bukan hanya dia yang diperlakukan semena-semena oleh
perusahaan. Jika memang benar banyak orang yang sudah diperlakukan secara tidak
adil oleh perusahaan, saya rasa perusahaan telah berada di ambang kehancuran.
Tesis saya
begini, perusahaan yang tidak menganggap karyawan sebagai aset, namun sebagai
sapi perahan, maka bersiap-siaplah perusahaan itu untuk mengalami goncangan.
Seperti kata Karl Max, semakin pedih rasa tertindas kau proletar, akan semakin
cepat revolusi dan pemberontakan bangkit.
Hmm, mungkin
bos-bos tempat saya bekerja harus membaca Ibunda
yang ditulis oleh Maxim Gorky. Dalam novel yang diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Pramoedya Ananta Toer itu, pemberontakan hebat para buruh
terjadi karena mereka diperlakukan secara seenaknya oleh para pemegang tampuk
kekuasaan dalam pabrik. Havel, anak muda sebagai sentral dalam novel itu, mengambil
keputusan untuk bangkit dan melawan! Ya, melawan!
Tetapi, apakah
Gus Dur saya ini berani untuk melawan? Apalagi ia bakal punya satu orok lagi di
akhir tahun 2012 ini?
Sebelum
meninggalkan tangga darurat saya masih dapat melihat Gus Dur menghirup
kopinya, mencoba menikmati sepi yang
tiba-tiba memanjang sepanjang tangga.***