Selasa, 31 Juli 2012

Insentif Oh Insentif…..


Suatu petang, sambil menghirup kopi dan menyesap kretek, saya dan beberapa teman berbincang di tangga darurat gedung kantor. Tangga darurat memang menjadi tempat yang strategis untuk kongkow di sela-sela kerja setelah kami tidak lagi memiliki ruang khusus merokok.

Salah seorang teman uring-uringan. Pasalnya uang insentif yang dijanjikan kantor tidak kunjung dibayarkan. Padahal, masih segar dalam ingatan saya, insentif yang dijanjikan oleh perusahaan tempat kami bekerja itu akan diberikan jika seserorang telah mencapai target penjualan.

“Saya langsung protes. Ini nggak bener! Ini penipuan?” kata teman saya seraya menggebrak tembok.

“Sabar, Gus! Apa sampeyan sudah mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan?” tanya saya. Saya memanggil kawan ini Gus Dur karena wajahnya mirip Abudrrahman Wahid,  Kiayi yang pernah menjadi presiden itu.

“Sudah! Pasti sudah. Target saya tercapai setiap bulannya kok!”

“Terus,  kamu protes sama siapa?’

“Bos!”

“Bos?”

“Ya.”

“Apa responnya?”

“Si Bos bilang, dia tidak punya catatannya!”

“Lho, kok bisanya begitu?”

“Ya, bisa.”

“Terus?”

“Ya,  dia minta saya mengecek sendiri ke bagian keuangan.”

“Lalu, sampeyan ngecek?”

“Iya. Tapi jawaban dari bagian keuangan bikin saya mual. Katanya itu butuh waktu lama. Lagi pula, karyawan tidak punya hak untuk mengetahui kondisi keuangan. Jika memaksa, harus ada persetujuan tertulis dari atasan yang bersangkutan!”

“Lalu?”

“Saya balik ke Si Bos. Tetapi Si Bos bilang, itu bukan wewenangnya. Saya diminta untuk menanyakan langsung ke bagian sumber daya manusia. Namun setelah saya satroni, bagian sumber daya manusia bilang,  soal insentif bukan soal mereka, tetapi unit tempat saya berada.”

“Ruwet!”

“Memang ruwet! Ini akal-akalan perusahaan. Semua dipersulit!”

Pendek kata, teman saya si Gus Dur palsu ini memang dipersulit untuk memperoleh insentif yang pernah dijanjikan perusahaaan. Prosedurnya tidak jelas, tidak transparan, dan tidak ada solusi.

Saya jadi teringat ocehan calon pejabat dan calon pemimpin kita. Pada masa kampanye mereka bisa bicara apa saja untuk menarik perhatian calon pemilih. Ada yang kepincut dengan janji-janji itu, ada yang pesimis, skeptis,  dan  ada juga yang menetapkan hati untuk menganggap itu hanya akal-akalan. Apalagi kalau bukan akal-akalan namanya, jika janji tidak pernah ditepati, jika iming-iming tidak pernah dipenuhi. Apa bedanya dengan igauan?

Kita kembali kepada si Gus Dur. Saya tahu benar, penggemar nasi uduk itu adalah pekerja keras, selalu serius mengerjakan tugas-tugas, dan tidak pernah main-main dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Tetapi kenapa perusahaan tempat saya bekerja bemain-main dengan hak yang harus diterimanya?

Saya berpikir lagi, jangan-jangan bukan hanya dia yang diperlakukan semena-semena oleh perusahaan. Jika memang benar banyak orang yang sudah diperlakukan secara tidak adil oleh perusahaan, saya rasa perusahaan telah berada di ambang kehancuran.

Tesis saya begini, perusahaan yang tidak menganggap karyawan sebagai aset, namun sebagai sapi perahan, maka bersiap-siaplah perusahaan itu untuk mengalami goncangan. Seperti kata Karl Max, semakin pedih rasa tertindas kau proletar, akan semakin cepat revolusi dan pemberontakan bangkit.

Hmm, mungkin bos-bos tempat saya bekerja harus membaca Ibunda yang ditulis oleh Maxim Gorky. Dalam novel yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pramoedya Ananta Toer itu, pemberontakan hebat para buruh terjadi karena mereka diperlakukan secara seenaknya oleh para pemegang tampuk kekuasaan dalam pabrik. Havel, anak muda sebagai sentral dalam novel itu, mengambil keputusan untuk bangkit dan melawan! Ya, melawan!

Tetapi, apakah Gus Dur saya ini berani untuk melawan? Apalagi ia bakal punya satu orok lagi di akhir tahun 2012 ini?

Sebelum meninggalkan tangga darurat saya masih dapat melihat Gus Dur menghirup kopinya,  mencoba menikmati sepi yang tiba-tiba memanjang sepanjang tangga.***